Minggu, 05 April 2009

Kebudayaan (Para) Konsumen

Kebudayaan (Para) Konsumen
[S.M.A.Y.H]

Kebudayaan (Para) Konsumen, Sebuah kalimat yang harus diberi pengertian lebih lanjut, karena ada sebuah kata yang menurut hemat penulis perlu diadakan ¬re-interpretation, Kebudayaan yang berasal dari kata Budaya, yaitu hasil karya, cipta dan rasa. Namun dewasa ini kata budaya sudah memiliki perluasan makna sehingga melahirkan utterance baru dari kata tersebut, ada yang menjurus pada hal yang negatif mau positif. Sebuah contoh didalam sebuah Organisasi ada istilah bila mengadakan rapat ”nggak terlambat bukan ikhwah namanya”, sebuah utterance yang sebenarnya penulis dan yang bersangkutan mengetahui hal tersebut adalah negative, namun hal tersebut malah bertahan, dan akhirnya membudaya, maka dari itu, lahirlah istilah tersebut, dan lebih parah lagi ada ungkapan yang sangat terkenal di negeri ini, yaitu “Korupsi itu sudah mem-budaya di Indonesia”, bukan tanpa alasan, karena kita akan selalu disajikan oleh Media tentang pemberitaan tersebut.

Kembali ke permasalah yang akan dikaji didalam resume ini, konsumen adalah objek yang selalu “diintai” oleh kaum produsen. Produsen sebagai subjek akan melakukan apa saja asalkan dapat meraih konsumen sebanyak-banyaknya. Media dijadikan alat untuk mengirimkan imaji-imaji kepada para pemirsa/pembaca (Baca:Media Massa), setiap hari bermunculan berbagai produk-produk yang ditawarkan dengan berbagai kelebihan yang akan didapatkan oleh para Konsumen. Dalam kasus seperti ini maka tidak salah sifat konsumtivisme masyarakat begitu tinggi, walau apa yang akan dimilikitnya tersebut bukanlah kebutuhan primer, melainkan hanya sebuah alat untuk bermewah-mewahan.

Media massa dan elektronik memiliki peran besar dalam menumbuhkan sifat konsumerisme masyarakat dan metode tersebut bekerja dengan baik, akhirnya masyarakat pun termotivasi untuk membeli sebuah produk padahal bila dicermati dan difikirkan sebenarnya hal tersebut bukanlah kebutuhan yang riil dalam kehidupannya, sebagai kasus contoh adalah, maraknya iklan jenis-jenis hanphone (Cell Phone) dengan berbagai merek dan fitur-fitur baru, membuat masyarakat yang menyaksikan sering ber-imaji, ingin memilikinya, padahal hal tersebut bukan kebutuhan sebenarnya, entah karena ingin dianggap “WAH” atau bagaimana, yang jelas hal tersebut terjadi karena media bermain begitu cantik, sehingga imaji-imaji yang mereka tanam, benar-benar masuk kedalam alam fikiran masyarakat. Karena hal ini tak sedikit akhirnya masyarakat memiliki sifat konsumtif.

Budaya Konsumer


Diatas penulis menyebut 2 istilah, yaitu Konsumtivisme dan konsumerisme, perlu diketahui bahwa kedua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanya, Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus dijauhi. Dua istilah tersebut kerap disalah artikan oleh masyarakat, tidak sedikit yang menganggap keduanya memiliki arti yang sama, padahal bila dianalogikan kedua istilah tersebut diibaratkan emas dan kuningan .

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah .

Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer .

Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal - fase id struktur psikis manusia.

Fase id didalam Sigmung Freud adalah sifat irrasional suatu masyarakat yang timbul secara spontan karena imaji-imaji yang ditampilkan oleh media masuk kealam bawah sadar suatu masyarakat, sehingga muncul keinginan-keinginan baru untuk memuaskan dirinya, “mau ini mau itu” dalam kasus ini tendensi yang ada didalam diri manusia merasa selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment). ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) semakin subur dan berkembang amat cepat saja. Bila mengacu pada pendapat Sigmund Freud, didalam diri manusia itu terdapat 3 struktur : id  Ego  Superego, bila ketiga unsur ini berjalan dengan baik, maka kehidupan seorang manusia akan teratur, dan dalam menyikapi sesuatu akan seimbang dan terkontrol, dan tidak gampang untuk cepat terpengaruh, karena dia akan melakukan sebuah analisa sebelum bertindak (Think before doing), inilah yang mencerminkan sikap yang benar bila ingin menjadi seorang konsumen yang baik, karena mustahil hidup tanpa mengkonsumsi sesuatu bentuk barang/jasa tinggal bagaimana kita mengatur hal (Sifat konsumerisme) tersebut agar tidak merugikan dan berdampak negative serta sia-sia.

Seorang konsumen yang baik dan disiplin serta pandai mengatur pengeluaran adalah ciri yang patut dicontoh, sedangkan seorang konsumen yang cenderung memiliki sifat konsumtif, sudah pasti memiliki kehidupan yang tidak terstruktur dan itu menujukkan kehidupan yang tidak teratur secara finasial, tidak berjalannya manajerial keuangan diri, hidup cenderung boros dan kepuasan sebagai tujuan- ”Besar Pasak Dari Tiang”-.

2 Silakan Kritik dan Sarannya ^_^:

tari mengatakan...

mendadak serius...

Sulthan MaLiK mengatakan...

hihi.... cuma itu komennya :(

Posting Komentar

Katakan Apa Yang Ingin Anda Katakan... ^_^

No Copyright@

Hak Cipta Dilindungi Allah SWT, Bila Ada Salah Kata Mohon Dimaafkan. Lagi Belajar sich ^_^
Diterima Cacian, Makian, Saran dan Kritik
Email: abu.aifah1@gmail.com
CP/Whatsapp :
0821-7816-9560

KPR Non Ribawi Jambi

 

.:: Inspirasi Bang Malik ::. Published @ 2014 by Bang Malik

Blogger Templates